warkoptoto3 login

wieslot - Apakah ASEAN Masih Relevan di tengah Rivalitas AS

2024-10-07 21:48:28

wieslot,oppatoto rtp,wieslotJakarta, CNN Indonesia--

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke-42 yang digelar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pekan ini menjadi sorotan banyak pihak.

Pemerhati politik internasional bertanya-tanya apakah KTT ASEAN tahun ini, yang tengah diketuai oleh Indonesia, mampu menghasilkan langkah konkret dan lebih tegas lagi dalam menyelesaikan masalah di kawasan.

Lihat Juga :
Saudi Bakal Eksekusi Mati 3 Pria Tolak Proyek The Line MbS

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, Quad merupakan forum dialog terkait ekonomi dan keamanan antara Australia, India, Jepang, dan AS.

Kedua aliansi ini sama-sama berusaha melawan pengaruh China di Indo-Pasifik dengan membidik Asia Tenggara. 

Lantas, bagaimana peran ASEAN di tengah situasi kawasan dan perubahan geolopotik saat ini? Apakah tujuan ASEAN masih relevan?

Pengamat dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Waffaa Kharisma, mengakui relevansi ASEAN saat ini memang menjadi suatu pertanyaan besar.

Menurut Waffaa, hal itu karena ekspektasi bagi ASEAN seiring waktu semakin tinggi.

[Gambas:Video CNN]

"Di tahun 2000-an dan 2010-an awal, ASEAN itu cukup berada di periode progresif, muncul dengan jawaban-jawaban atas macam-macam krisis, mulai dari krisis kesehatan SARS, krisis finansial global, bencana di kawasan seperti Nargis, hingga tensi antar negara Asia Tenggara dan negara-negara besar. Biasanya ASEAN selalu datang dengan jawaban," kata Waffaa kepadaCNNIndonesia.com, Rabu (10/5).

"Namun dalam pandangan yang lebih kritis, ASEAN saat ini dinilai kurang dapat menjawab tantangan krisis yang sifatnya sensitif."

Lihat Juga :
Jokowi Ungkit Rivalitas Global: Apakah ASEAN Hanya Akan Jadi Penonton?

Minim 'sense of belonging' dan Vakum Kepemimpinan

Waffaa menuturkan semakin sini, anggota negara ASEAN semakin terlihat "berjalan sendiri-sendiri" terutama dalam menanggapi beberapa masalah yang sedang terjadi di kawasan. Hal ini, kata Waffaa, bisa memicu perpecahan dan perbedaan pandangan di antara negara ASEAN sehingga sulit mencapai satu suara dan konsensus.

"Masalah yang menerpa ASEAN saat ini adalah krisis yang membuka divisi di antara negara-negara ASEAN dan diatasi dengan beda-beda pendekatan. Hal ini yang menurutnya mempersulit konsensus serta respons kolektif," ujar Waffaa.

Waffaa menggambarkan perpecahan di ASEAN itu bisa dilihat dari cara negara-negara merespons konflik di Myanmar. Menurutnya, negara ASEAN tidak satu suara dalam mencari solusi dan menangani kekerasan dan krisis politik yang terjadi di Myanmar akibat kudeta militer.

Hal itu bisa dilihat dari sikap negara-negara ASEAN selama ini yang terpecah dalam merespons situasi di Myanmar dan sikap keras kepala junta militer negara itu.

Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, kerap menyerukan pendekatan yang lebih vokal dan tegas terhadap Myanmar. Di sisi lain, Thailand dan Kamboja kerap menyatakan keengganan mengambil langkah yang bisa mengisolasi junta militer Myanmar. Kedua negara ini memang memiliki hubungan dekat dengan junta Myanmar.

Pilihan Redaksi
  • Muncul Tanda Silang Merah Misterius di Moskow, Target Serangan Drone?
  • Jepang Akui Mau Buka Kantor NATO Perdana di Asia
  • Rusia Makin 'Kritis' di Ukraina, Putin Perintahkan Warga Wajib Militer

Waffaa menuturkan meski ASEAN sudah menyepakati Five Point Consensus pada 2021 lalu soal Myanmar, masih ada negara anggota yang memandang kesepakatan tersebut sekadar panduan alih-alih perjanjian mengikat (binding agreement).

Tak cuma itu, persoalan AUKUS serta persaingan antara China dan Amerika Serikat juga kemungkinan menuai respons beragam dari masing-masing negara.

"Persaingan AS dan Tiongkok ada yang berharap ASEAN bisa aktif, ada [juga] yang berpikir ini di luar kapasitas ASEAN untuk kontribusi. Sulit mencari solusi yang semua pihak terpuaskan," ucapnya.

"Kenapa bisa sampai seperti ini? Banyak ahli mengamati salah satu penyebabnya ya vakum kepemimpinan."

Selama 10 tahun terakhir, Waffaa melihat bahwa kurang ada perhatian di antara negara-negara ASEAN terhadap kemajuan dan terobosan di level aliansi. Masing-masing menurutnya bergerak sendiri sehingga ASEAN "mulai kembali kurang dianggap di percaturan atas arsitektur kawasan."

ASEAN hanya ajang arisan, benarkah? Baca di halaman berikutnya >>>

ASEAN hanya ajang "cuap-cuap"?

Waffaa lantas berpandangan jika ASEAN ingin benar-benar relevan, negara-negara yang memang peduli harus bisa memperjuangkan isu dan agendanya di setiap pertemuan.

"Indonesia, misalnya, kalau mau perjuangkan isu Myanmar, isu CoC, perlu rumuskan konsep dan solusi ala Indonesia dari jauh-jauh hari. Kemudian perlu cari teman-teman dekat di ASEAN yang visinya sama, baru selanjutnya mulai dijual ke masing-masing negara ASEAN lain untuk diyakinkan," tuturnya.

"Sehingga ketika Summittidak hanya bicara-bicara saja tetapi ada perkembangannya."

Selain itu, Waffaa juga menekankan Indonesia maupun negara ASEAN lainnya perlu bersikap berani dalam memperjuangkan isu yang dianggap penting bagi kawasan.

"Harus berani mainkan pressure point sehingga negara-negara ASEAN lain bisa memikirkan kepentingan-kepentingan kawasan," ujar Waffaa.

Lihat Juga :
Kapal China Mondar-mandir di LCS saat ASEAN-India Latihan Militer

ASEAN tetap penting

Sementara itu, pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, justru menilai peran ASEAN justru sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Menurut Rezasyah, ASEAN kini dihadapkan pada situasi di mana mesti mengambil posisi sentral di antara persaingan China dan AS.

China, ujar dia, punya pengaruh sangat besar di Asia Tenggara. Mulai dari berbagai kerja sama baik bilateral maupun total, pengalaman historis sebagai negara sesama Asia, hingga penguasaan bisnis yang mendapuk China menjadi salah satu investor terbesar di ASEAN.

Sementara itu, AS belum punya peran sebesar China sehingga terjadi ketimpangan.

"Ini yang membuat ASEAN mencoba memberi leverage(pengaruh) pada Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, menjadi lebih lunak terhadap Amerika Serikat," katanya.

"Pak [Presiden] Jokowi kan menggunakan kata kunci engagement artinya merangkul. Jadi dalam hal ini Pak Jokowi tidak menganggap [kekuatan eksternal seperti] AUKUS dan Quad itu sebagai musuh, tapi sebagai suatu wadah yang perlu diajak kerja sama."

Lihat Juga :
Joget Asyik Jokowi-Iriana dan Istri PM Singapura di Gala Dinner ASEAN

Senada, pengamat ASEAN dari LIPI, Adriana Elisabeth, juga menilai peran ASEAN masih relevan hingga saat ini. Dia berujar blok tersebut masih mampu mencegah terjadinya konflik terbuka di Asia Tenggara.

Kendati begitu, Adriana mengakui kepentingan kekuatan luar atauexternal powerscukup banyak mengganggu soliditas ASEAN. Kekuatan luar itu salah satunya Quad yang "membutuhkan dukungan ASEAN untuk menghadapi globalisasi China."

"ASEAN tidak akan bergabung dengan Quad tapi dalam konteks kontestasi gagasan dan strategi global AS dan aliansinya memerlukan dukungan ASEAN untuk menghadapi globalisasi China," kata Adriana kepada CNNIndonesia.com.